Total Tayangan Halaman

Sabtu, 25 Februari 2012

Single Electron Tunneling Fenomena Unik dalam Teknologi Nano


Ratno Nuryadi (Shizuoka University)
Potensi besar teknologi nano sebagai alternatif teknologi di masa depan telah menyedot perhatian dunia peneliti. Sebagaimana asal katanya, teknologi berarti suatu rekayasa terhadap suatu obyek/benda dan nano menunjukkan ukuran obyek dalam skala nanometer (1 nanometer sama dengan sepermiliar meter atau sama dengan jumlah diameter 10 atom). Jadi, teknologi nano berarti sebuah rekayasa teknologi dengan memanfaatkan karakter suatu material pada ukuran nanometer. Lalu, apa keistimewaan material pada ukuran sekecil nanometer sehingga menarik perhatian untuk dijadikan teknologi andalan di masa depan?
Bila kita memotong-motong batangan emas hingga membentuk butiran-butiran serbuk kecil yang lembut, yang kita jumpai adalah walaupun ukurannya berubah, tetapi sifat karakter emas tidak berubah. Ini dikarenakan sebenarnya pada satu butiran emas masih terdapat banyak atom yang tak terhitung jumlahnya. Sebagai gambaran saja, jumlah atom dalam 1 gram emas sebanyak 3x10 21 buah (dihitung dari massa atom emas 196.9). Tetapi, lain kondisinya jika kita memotong-motong emas tersebut secara berulang-ulang hingga butiran-butiran emas berukuran nanometer. Pada kondisi ini, fenomena aneh muncul ke permukaan. Sebagai contoh, jika pada sebatang kawat terbuat dari emas berdiameter 10 nanometer dialiri arus listrik, sifat penghantaran listriknya tidak lagi mengikuti hukum Ohm, tetapi mempunyai harga penghantar yang diskrit (lompat-lompat). Karakter unik semacam ini sama sekali tidak terlihat pada emas berukuran makro.
Karakter unik inilah yang menjadi landasan dasar teknologi nano, yang ukuran bendanya berstruktur lebih kecil dari ukuran makro (makroskopik), tetapi lebih besar dari ukuran atom (mikroskopik). Di dunia sains, wilayah ini disebut dengan mesoskopik. Wilayah ini merupakan perbatasan antara wilayah fenomena fisika klasik dan fisika kuantum. Dengan latar belakang ini, maka tidak dipahaminya fenomena fisika dalam wilayah mesoskopik ini secara otomatis tidak akan bisa direalisasikan teknologi nano.
Para peneliti berusaha menemukan fenomena-fenomena fisika pada wilayah mesoskopik ini dengan uji coba membuat sistem struktur berukuran nano dan menguji sifat karakter hantaran listrik benda tersebut. Salah satu fenomena tenar yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan para ahli fisika dan nanoelektronika adalah fenomena single electron tunneling (terobosan elektron tunggal), yaitu suatu fenomena pengontrolan bergeraknya elektron satu per satu. Sulit dibayangkan bagaimana mungkin pergerakan elektron satu per satu bisa dikontrol? Tetapi begitulah, teknologi nano akan didobrak oleh divais yang bekerja atas dasar fenomena tersebut.
Oleh para ahli, fenomena unik ini biasanya dimunculkan dari sistem struktur transistor, yang kemudian dikenal dengan single-electron transistor (transistor elektron tunggal). Transistor ini pertama kali diperkenalkan oleh TA Fulton dan GJ Dolan dari AT & T Bell Laboratory, Amerika, pada tahun 1987. Jenis transistor ini bisa disebut transistor tipe terbaru dalam sejarah perjalanan transistor. Prinsip kerja transistor ini sebenarnya mirip dengan MOSFET (metal-oxide-semiconductor field-effect transistor), jenis transistor yang kebanyakan dipakai dalam alat-alat elektronika sekarang. Sebagaimana MOSFET, transistor elektron tunggal juga tersusun atas 3 elektrode, yaitu source, drain, dan gate. Bedanya dengan MOSFET, di antara elektrode source dan drain dibuat "kuantum dot" yang berukuran nanometer, yang mana antara source-dot dan dot-drain hanya dibatasi oleh lapisan isolator yang tipis (hanya beberapa nanometer juga). Satu lagi, antara kuantum dot dan gate dibatasi juga oleh lapisan isolator. Kuantum dot tersebut biasa disebut "pulau", dan lapisan isolator antara source-dot dan dot-drain biasa disebut sambungan terobosan karena lapisannya sangat tipis dan memungkinkan elektron untuk menerobosnya. Pada prinsipnya, dengan memberi beda voltase antara source dan drain sekecil mungkin (mendekati nol), maka pada kondisi voltase gate dengan harga tertentu aliran elektron satu per satu dari source masuk dot kemudian ke drain, akan bisa didapatkan. Kecepatan aliran elektron pun bisa dikontrol dengan pengaturan kombinasi voltase gate dan beda voltase antara source dan drain.
Sejak ditemukan pertama kali, transistor elektron tunggal ini diprediksi akan bisa diaplikasikan dalam sistem digital karena bekerja berdasarkan pengontrolan gerak elektron satu per satu. Tidak hanya itu saja, karena untuk menggerakkan elektron satu per satu hanya diperlukan voltase yang sangat rendah, otomatis transistor ini bisa bekerja dengan energi yang rendah pula (low power). Keunggulan lain, kecepatannya pun jauh lebih cepat dibandingkan dengan jenis transistor yang memasyarakat dewasa ini.
Untuk merealisasikan transistor elektron tunggal ini tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena memerlukan teknologi pembuatan yang punya ketelitian tinggi. Kemudian, karena yang akan dikontrol itu adalah gerakan elektron, otomatis divaisnya pun cukup sensitif. Sifat sensitif inilah yang justru secara teknologi menjadi dinding hambatan untuk mewujudkannya, terutama untuk pembuatan divais secara kolektif. Letak kesulitannya adalah pada pembuatan kuantum dot dan sambungan terobosan. Dengan teknologi semikonduktor sekarang ini pun masih sulit membuat struktur berukuran nano yang berukuran serempak dalam jumlah yang besar. Karena itu, masih cukup sulit untuk membuat rangkaian terpadu IC (integrated circuit) dengan basis transistor elektron tunggal. Tetapi, untuk tahap pembuatan secara individu atau kombinasi sederhana dengan komponen lain, perkembangannya sangat dahsyat, bahkan transistor elektron tunggal yang dahulu ketika diperkenalkan hanya bisa bekerja pada suhu sangat rendah (kira-kira 1 Kelvin atau -272 derajat Celsius), sekarang sudah bisa bekerja pada suhu ruangan. Terinspirasi dari transistor elektron tunggal ini, telah dikembangkan juga bentuk aplikasi-aplikasi lain, seperti memori, pomp, network, dan aplikasi lainnya. Pengembangan ini juga telah ditunjang oleh penelitian secara teori.
Dari segi bahan material, divais elektron tunggal juga telah diuji coba pada berbagai jenis bahan, baik itu logam maupun semikonduktor, seperti GaAs, silikon, dan juga jenis material baru seperti carbon nanotube. Bisa dibuatnya divais elektron tunggal dari jenis silikon sangat menyenangkan bagi para peneliti, terutama bagi perusahaan semikonduktor. Sebab, hal tersebut berarti memberi lampu hijau bahwa divais ini bisa diadopsikan ke dalam divais elektronika dewasa ini. Perlu diketahui bahwa infrastruktur teknologi elektronika dewasa ini masih didominasi oleh silikon. Dengan demikian, untuk bahan-bahan selain silikon, jika akan diadopsikan ke dalam divais elektronika sekarang, masih diperlukan teknologi interface terlebih dahulu agar bisa familier dengan teknologi silikon.
Di Jepang sendiri, perusahaan-perusahaan semikonduktor raksasa, seperti Toshiba, NTT, NEC, Sony, Fujitsu, dan lain-lainnya, juga para peneliti di universitas, berlomba-lomba mempresentasikan perkembangan penelitiannya masing-masing di setiap pertemuan ilmiah bidang fisika atau elektronika. Begitu juga para peneliti di Amerika dan Eropa tidak ketinggalan dalam persaingan penelitian. Bahkan, sekarang juga sudah berdiri konferensi internasional yang khusus membahas fenomena fisika di wilayah mesoskopik, seperti International Conference on New Phenomena in Mesoscopic Structures dan International Conference on Surfaces and Interfaces of Mesoscopic Devices yang diadakan setiap tiga tahun sekali.Meskipun dari sudut penelitian sudah begitu maju perkembangannya, untuk sampai ke tataran produksi (pasar) masih dibutuhkan waktu dengan alasan seperti yang dikemukakan di atas.

Inilah Fenomena Air Mengejutkan Versi Fisika

Air memiliki kemampuan untuk membasuh, menenangkan dan memelihara. Di sisi lain, air juga memiliki kekuatan brutal seperti saat tsunami.
Orang bijaksana China, Lao Tzu, sempat mengatakan, tak ada yang lebih lunak dan lebih lemah dari air namun tak ada yang lebih baik untuk menyerang benda keras dibanding air. Airmendominasi dua pertiga tubuh manusia dan menyelimuti tiga perempat Bumi yang membuatnya sangat misterius.
Di sisi lain, air akan sangat mengejutkan Anda, bahkan mampu mementahkan pemahaman ilmiah.
Beku
Orang logis pasti menganggap butuh waktu lebih lama bagi air panas untuk mencapai suhu nol deraja celcius dan membeku dibanding air dingin. Anehnya pada 1963, siswa SMA Tanzanian Erasto Mpemba menemukan, air panas lebih cepat beku dibanding air dingin dan tak seorang pun mengetahui mengapa begitu.
Salah satu kemungkinan yang ada adalah proses sirkulasi panas yang disebut konveksi. Dalam wadah air, ketika hangat naik ke atas mendorong air yang lebih dingin di bawahnya maka akan tercipta ‘hot pop’. Ilmuwan memperhitungkan, konveksi ini mampu mempercepat proses pendinginan dan segera mencapai titik beku.
Zat licin
Pemeriksaan ilmuwan satu setengah abad belum berhasil memecahkan mengapa permukaan es licin. Ilmuwan sepakat, lapisan tipis air cair di atas es beku menjadi penyebabnya. Hingga kini, tak ada konsensus mengapa es memiliki lapisan itu.
Teori menduga, lapisan ini muncul akibat ski atau terpeleset sehingga terjadi kontak dengan es yang kemudian meleleh. Lainnya menduga, lapisan cair ini ada akibat gerak inheren molekul permukaan. Namun faktanya, hingga kini, misteri ini belum terpecahkan.
Aquanut
Di Bumi, air mendidih menciptakan ribuan gelembung kecil. Di luar angkasa, air mendidih menciptakan satu gelembung besar. Dinamika fluida ini sangat rumit hingga fisikawan tak mengetahui apa yang terjadi pada air mendidih pada kondisi bergravitasi nol hingga eksperimen dilakukan pada 1992.
Fisikawan memutuskan, fenomena ini merupakan hasil ketiadaan dua fenomena yang disebabkan gravitasi, yakni konveksi dan daya pengapungan. Berikut videonya klik disini
Cairan melayang
Saat tetes air mendarat di permukaan yang lebih panas dari titik didih, air bisa bergerak cepat di permukaan jauh lebih lama dari dugaan. Efek yang disebut leidenfrost ini terjadi saat lapisan terbawah air menguap dan molekul gas air di lapisan itu tak punya tujuan. Akibatnya, sisa tetes air tak jatuh di permukaan panci panas. Berikut videonya klik disini.
Selaput gila
Terkadang, air tampak menolak hukum fisika. Kekuatan tensi permukaan yang membuat lapisan terluar badan air berlaku seperti selaput fleksibel. Tensi permukaan muncul akibat ikatan molekul air saling merenggang. Karenanya, molekul mengalami tarikan ke dalam dari molekul di bawahnya.
Air akan menyatu hingga ada tenaga meruntuhkan ikatan lemah itu. Misalnya, pada klip kertas yang tetap berada di atas air meski besi lebih padat dari air dan seharusnya tenggelam, tensi permukaan mencegahnya.
Salju Mendidih
Saat terdapat gradien suhu besar, sebuah efek mengejutkan akan terjadi. Jika air mendidih bersuhu 100C disiram ke udara yang bersuhu -34C, maka air berubah menjadi salju dan terbang. Hal ini terjadi karena udara dingin ekstrim sangat padat dan tak siap merilis uap air.
Di sisi lain, air mendidih siap merilis uap. Saat air dilempar ke udara, udara terpecah menjadi tetesan dan disinilah letak masalahnya. Banyaknya uap yang melebihi batas udara membuat ‘partisipan’ berubah menjadi partikel mikroskopik di udara dan menciptakan salju. Berikut videonyaklik disini.
Ruang Kosong
Bentuk padat tiap zat pasti lebih padat dari bentuk cairnya namun hal ini tak berlaku bagi air. Saat air membeku, volumenya meningkat 8%. Perilaku aneh ini membuat bongkahan es bisa mengambang. Serupa benda solid lain, perbedaan yang ada adalah struktur heksagonal kristal es yang menyisakan banyak ruang kosong yang membuat es tak padat.
Tak Ada Duanya
Dalam sejarah salju, tiap struktur cantik ini sangat unik. Alasannya, kepingan salju berawal dari prisma heksagonal sederhana. Kepingan salju turun dipengaruhi suhu, tingkat kelembaban dan tekanan udara yang membuatnya tak pernah ada yang kembar. Menariknya, kepingan salju selalu tumbuh dengan sinkronisasi sempurna.
Asal usul yang menyelimuti 70% permukaan Bumi masih menjadi misteri bagi ilmuwan. Menurut ilmuwan, air yang ada di Bumi 4,5 miliar tahun silam menguap akibat panasnya matahari muda. Artinya, air di Bumi saat ini bukan berasal dari Bumi itu sendiri.
Terdapat teori, 4 miliar tahun silam di masa Late Heavy Bombardment, terdapat benda masif menghantam Bumi dan benda ini berisi air. Selain itu, terdapat teori komet menjadi ‘dalang’ pemberi air bagi planet hunian manusia ini.
Kini muncul masalah baru, air yang ada menguap dari komet utama (Halley, Hyakutake, dan Hale-Bopp) memiliki jenis yang berbeda dari H2O Bumi yang menunjukkan, komet ini bisa jadi bukan sumber semua air yang ada.
(sumber:Inilah.com)