Ratno Nuryadi (Shizuoka University)
Potensi besar teknologi nano sebagai alternatif teknologi di masa depan telah menyedot perhatian dunia peneliti. Sebagaimana asal katanya, teknologi berarti suatu rekayasa terhadap suatu obyek/benda dan nano menunjukkan ukuran obyek dalam skala nanometer (1 nanometer sama dengan sepermiliar meter atau sama dengan jumlah diameter 10 atom). Jadi, teknologi nano berarti sebuah rekayasa teknologi dengan memanfaatkan karakter suatu material pada ukuran nanometer. Lalu, apa keistimewaan material pada ukuran sekecil nanometer sehingga menarik perhatian untuk dijadikan teknologi andalan di masa depan?
Bila kita memotong-motong batangan emas hingga membentuk butiran-butiran serbuk kecil yang lembut, yang kita jumpai adalah walaupun ukurannya berubah, tetapi sifat karakter emas tidak berubah. Ini dikarenakan sebenarnya pada satu butiran emas masih terdapat banyak atom yang tak terhitung jumlahnya. Sebagai gambaran saja, jumlah atom dalam 1 gram emas sebanyak 3x10 21 buah (dihitung dari massa atom emas 196.9). Tetapi, lain kondisinya jika kita memotong-motong emas tersebut secara berulang-ulang hingga butiran-butiran emas berukuran nanometer. Pada kondisi ini, fenomena aneh muncul ke permukaan. Sebagai contoh, jika pada sebatang kawat terbuat dari emas berdiameter 10 nanometer dialiri arus listrik, sifat penghantaran listriknya tidak lagi mengikuti hukum Ohm, tetapi mempunyai harga penghantar yang diskrit (lompat-lompat). Karakter unik semacam ini sama sekali tidak terlihat pada emas berukuran makro.
Karakter unik inilah yang menjadi landasan dasar teknologi nano, yang ukuran bendanya berstruktur lebih kecil dari ukuran makro (makroskopik), tetapi lebih besar dari ukuran atom (mikroskopik). Di dunia sains, wilayah ini disebut dengan mesoskopik. Wilayah ini merupakan perbatasan antara wilayah fenomena fisika klasik dan fisika kuantum. Dengan latar belakang ini, maka tidak dipahaminya fenomena fisika dalam wilayah mesoskopik ini secara otomatis tidak akan bisa direalisasikan teknologi nano.
Para peneliti berusaha menemukan fenomena-fenomena fisika pada wilayah mesoskopik ini dengan uji coba membuat sistem struktur berukuran nano dan menguji sifat karakter hantaran listrik benda tersebut. Salah satu fenomena tenar yang menjadi pembicaraan hangat di kalangan para ahli fisika dan nanoelektronika adalah fenomena single electron tunneling (terobosan elektron tunggal), yaitu suatu fenomena pengontrolan bergeraknya elektron satu per satu. Sulit dibayangkan bagaimana mungkin pergerakan elektron satu per satu bisa dikontrol? Tetapi begitulah, teknologi nano akan didobrak oleh divais yang bekerja atas dasar fenomena tersebut.
Oleh para ahli, fenomena unik ini biasanya dimunculkan dari sistem struktur transistor, yang kemudian dikenal dengan single-electron transistor (transistor elektron tunggal). Transistor ini pertama kali diperkenalkan oleh TA Fulton dan GJ Dolan dari AT & T Bell Laboratory, Amerika, pada tahun 1987. Jenis transistor ini bisa disebut transistor tipe terbaru dalam sejarah perjalanan transistor. Prinsip kerja transistor ini sebenarnya mirip dengan MOSFET (metal-oxide-semiconductor field-effect transistor), jenis transistor yang kebanyakan dipakai dalam alat-alat elektronika sekarang. Sebagaimana MOSFET, transistor elektron tunggal juga tersusun atas 3 elektrode, yaitu source, drain, dan gate. Bedanya dengan MOSFET, di antara elektrode source dan drain dibuat "kuantum dot" yang berukuran nanometer, yang mana antara source-dot dan dot-drain hanya dibatasi oleh lapisan isolator yang tipis (hanya beberapa nanometer juga). Satu lagi, antara kuantum dot dan gate dibatasi juga oleh lapisan isolator. Kuantum dot tersebut biasa disebut "pulau", dan lapisan isolator antara source-dot dan dot-drain biasa disebut sambungan terobosan karena lapisannya sangat tipis dan memungkinkan elektron untuk menerobosnya. Pada prinsipnya, dengan memberi beda voltase antara source dan drain sekecil mungkin (mendekati nol), maka pada kondisi voltase gate dengan harga tertentu aliran elektron satu per satu dari source masuk dot kemudian ke drain, akan bisa didapatkan. Kecepatan aliran elektron pun bisa dikontrol dengan pengaturan kombinasi voltase gate dan beda voltase antara source dan drain.
Sejak ditemukan pertama kali, transistor elektron tunggal ini diprediksi akan bisa diaplikasikan dalam sistem digital karena bekerja berdasarkan pengontrolan gerak elektron satu per satu. Tidak hanya itu saja, karena untuk menggerakkan elektron satu per satu hanya diperlukan voltase yang sangat rendah, otomatis transistor ini bisa bekerja dengan energi yang rendah pula (low power). Keunggulan lain, kecepatannya pun jauh lebih cepat dibandingkan dengan jenis transistor yang memasyarakat dewasa ini.
Untuk merealisasikan transistor elektron tunggal ini tentu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah karena memerlukan teknologi pembuatan yang punya ketelitian tinggi. Kemudian, karena yang akan dikontrol itu adalah gerakan elektron, otomatis divaisnya pun cukup sensitif. Sifat sensitif inilah yang justru secara teknologi menjadi dinding hambatan untuk mewujudkannya, terutama untuk pembuatan divais secara kolektif. Letak kesulitannya adalah pada pembuatan kuantum dot dan sambungan terobosan. Dengan teknologi semikonduktor sekarang ini pun masih sulit membuat struktur berukuran nano yang berukuran serempak dalam jumlah yang besar. Karena itu, masih cukup sulit untuk membuat rangkaian terpadu IC (integrated circuit) dengan basis transistor elektron tunggal. Tetapi, untuk tahap pembuatan secara individu atau kombinasi sederhana dengan komponen lain, perkembangannya sangat dahsyat, bahkan transistor elektron tunggal yang dahulu ketika diperkenalkan hanya bisa bekerja pada suhu sangat rendah (kira-kira 1 Kelvin atau -272 derajat Celsius), sekarang sudah bisa bekerja pada suhu ruangan. Terinspirasi dari transistor elektron tunggal ini, telah dikembangkan juga bentuk aplikasi-aplikasi lain, seperti memori, pomp, network, dan aplikasi lainnya. Pengembangan ini juga telah ditunjang oleh penelitian secara teori.
Dari segi bahan material, divais elektron tunggal juga telah diuji coba pada berbagai jenis bahan, baik itu logam maupun semikonduktor, seperti GaAs, silikon, dan juga jenis material baru seperti carbon nanotube. Bisa dibuatnya divais elektron tunggal dari jenis silikon sangat menyenangkan bagi para peneliti, terutama bagi perusahaan semikonduktor. Sebab, hal tersebut berarti memberi lampu hijau bahwa divais ini bisa diadopsikan ke dalam divais elektronika dewasa ini. Perlu diketahui bahwa infrastruktur teknologi elektronika dewasa ini masih didominasi oleh silikon. Dengan demikian, untuk bahan-bahan selain silikon, jika akan diadopsikan ke dalam divais elektronika sekarang, masih diperlukan teknologi interface terlebih dahulu agar bisa familier dengan teknologi silikon.
Di Jepang sendiri, perusahaan-perusahaan semikonduktor raksasa, seperti Toshiba, NTT, NEC, Sony, Fujitsu, dan lain-lainnya, juga para peneliti di universitas, berlomba-lomba mempresentasikan perkembangan penelitiannya masing-masing di setiap pertemuan ilmiah bidang fisika atau elektronika. Begitu juga para peneliti di Amerika dan Eropa tidak ketinggalan dalam persaingan penelitian. Bahkan, sekarang juga sudah berdiri konferensi internasional yang khusus membahas fenomena fisika di wilayah mesoskopik, seperti International Conference on New Phenomena in Mesoscopic Structures dan International Conference on Surfaces and Interfaces of Mesoscopic Devices yang diadakan setiap tiga tahun sekali.Meskipun dari sudut penelitian sudah begitu maju perkembangannya, untuk sampai ke tataran produksi (pasar) masih dibutuhkan waktu dengan alasan seperti yang dikemukakan di atas.
Sumber : Kompas (12 Mei 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar